Kamis, 24 November 2011

Mengawasi dari Surga



Mengawasi dari surga


Disebuah ruangan yang cukup luas, dan jendela yang cukup besar untuk dapat membiaskan cahaya mentari ke dalam ruangan. Saat itu, kulihat dirinya, gadis kecil dengan rambut lurus hitam yang terurai dibahu, ia mengenakan topi berwarna merah dikepala. Wajahnya pucat pasi. Namun senyumnya yng manis bagai
bulan sabit dimalam yang cerah, menutupi raut wajah yang pucat itu.

Kulihat ia duduk bersama seorang wanita yang cantik parasnya. Kurasa itu ibunya, ruangan yang mula sunyi, sontak terpecah ketika seorang suster menyebut sebuah nama “Grece.” Lantas gadis itu berdiri dan menyeret langkahnya menuju sebuah ruangan. Aku tetap menunggu giliranku disini. Aku gerharap akan bertemu dengannya lagi.

©  

Satu minggu berlalu, aku ada jadwal cek up hari ini, saat sampai di rumah sakit, aku melihatnya lagi. Teman baruku. Saat itu, kulihat ia sedang duduk. Kali ini bukan duduk untuk menunggu giliran, namun duduk pada kursi yang beroda, dan dapat berjalan. Ya, ia duduk tak berdaya, dan seseorang mendampinginya dari belakang, ia di bawa ke sebuah ruangan, aku melihat pintu ruangan itu tertuliskan angka ‘681’. Mataku terfokus pada angka-angka itu. Namun tak lama, karena aku harus melanjutkan langkahku, ke ruangan yang lain. Ternyata kali ini dokter mengatakan, bahwa aku harus di rawat di rumah sakit. Spontan bibirku terangkat, membentuk bulan sabit, dan sebuah ide terlihat di atas kepalaku.

Hari ke dua, aku berencana datang keruangan 681. pagi itu,  setelah aku di periksa, lantas ku tinggalkan kamarku dan melangkah penuh harap ke ruangan 861. di sana kulihat ia.
Ia sedang duduk sendirian, duduk di balik jendela kamarnya, mungkin ia sedang menikmati hangatnya mentari pagi, dan betapa indah sinarnya.

“Indah ya” aku memecah suasana, lantas ia membalikkan badan dan menatapku penuh curiga.
“Siapa kau? lancang sekali kau masuk ruanganku tanpa izin”. Perkataannya sungguh kejam. Bukan itu yang mau ku dengar dari bibir tipisnya, namun aku berusaha tenang.
“maaf kalau aku lancang, memang tak sepantasnya aku masuk ruanganmu tanpa meminta izin terlebih dahulu. Tadi aku tak sengaja lewat sini, dan aku tertarik untuk masuk ruanganmu ini, maaf yah, aku tak bermaksud. Mmm… aku dapat pergi jika kau mau” aku berusaha membuat ia simpati.
“tidak, jangan, kau jangan pergi. Aku senang bertemu denganmu, dan maaf ya soal ucapanku tadi, rasanya aku terlalu kasar padamu, dan membuat pertemuan pertama kita menjadi buruk. Aku hanya terkejut melihat orang asing masuk ruanganku, maaf ya?”.
“ iya, tak apa. Memang itu pantas ku dapatkan. Oh ya, mengapa kau sendirian, kemana orang tuamu?”
“ orang tuaku?, mereka pulang” gumamnya.
“pulang? Jadi kau sendirian di sini? Aku juga sendirian”
“lantas?” ia bertanya-tanya.
“maksudku, kita bisa berteman disini”.
“oh… tentu, aku senang mendengarnya, akhirnya aku tak kesepian lagi” ia menyambutku dengan penuh rasa, “jadi, kita berteman?”.
“tentu, mmm… kalau boleh tahu, kau sakit apa?” aku menanyakan hal yang selama ini menyelimuti pikiranku.
“aku sakit leokimia”ketika itu ia tak lagi menatapku.
“leokimia?” tandasku hampir tak percaya. aku tahu yang ia rasakan. Dan aku terkejut, mengapa gadis sebaik ia harus menerima penderitaan ini.
“iya, lantas bagaimana dengan kau?” ia berbalik bertanya.
“ aku hanya sakit biasa”.
“oh iya, kita belum berkenalan bukan?” ia mengganti pokok pembicaraan.
“namaku Hanna, kau, Grace, iya kan?”
“dari mana kau tahu?, perasaan aku belum menyebutnya” benaknya penuh dengan tanda Tanya.
“kau memang belum menyebutkan namamu padaku, namun seorang suster yang menyebutnya”
“kapan” tanda Tanya itu semakin bertambah, akhirnya kujelaskan semuanya.

Waktu terus berjalan, kami pun semakin dekat. Dimana ada Grace disitu pasti ada aku. Aku selalu datang ke ruangan Grace, dan memenuhi ruangan dengan benda-benda unik koleksi kami, para penghuni rumah sakit lainnya pun mengenal kami, mereka menyebut kami sebagai pelangi yang memberi warna disana, kebanyakan orang memang bosan berada di rumah sakit, namun tidak bagi aku dan Grace. Rumah sakit adalah tempat yang istimewa, dan mengasyikan, karena disinilah kami dapat saling melengkapi, selalu bertatap muka tiap hari, namun mustahil aku dan Grace tinggal selamanya disana, karena kami memiliki keluarga yang menunggu dirumah. Dan mungkin hari ini adalah hari yang begitu buruk bagiku, karena dokter mengatakan bahwa aku sudah sehat dan boleh untuk kembali kerumah. Aku sedih mendengarnya, aku sedih bukan karena aku sehat, namun karena secepatnya aku harus berpisah dengan Grace, dan waktu kami untuk bertemu semakin sulit.

Sebelum pergi, aku harus mengucap salam perpisahan dengan Grace, aku tak yakin aku bisa melakukannya. Namun aku harus lakukan itu, meskipun berat, tapi itu harus.

Akhirnya aku bertekat melakukannya, kuseret langkah menuju ruangannya, setibanya disana, aku tak temukan ia, hatiku bertanya-tanya, aku bertanya pada perawat yang kebetulan kutemui.
“Permisi” gumamku.
“iya, ada apa?” Tanya suster itu.
“apakah anda melihat pasien diruangan ini?”tanyaku, sembari melirik keruangan grace.
“Oh… grace maksudmu? Jawab sester,”dia di pindahkan keruang operasi pagi tadi, keadaannya memburuk, dan harus segera di operasi”.
“Begitu ya, terima kasih suster”.
“iya sama-sama” tandasnya sembari berlalu dari pandanganku.

Aku terkejut mendengar berita itu. Lantas kusandarkan tubuhku pada sebuah dinding dekat pintu kamar Grace. Aku tetap memikirkannya, mengapa ia tak memberitahukannya padaku tentang keadaannya. Dibenakku saat ini hanya ada Grace, aku tetap bersandar disana seiring berjalannya waktu. Aku menunggunya, namun ia tak kunjung datang, padahal orang tuaku sudah menjemputku, mereka menghampiriku dan hendak membawaku pulang, namun aku memohon pada mereka,” ayah, bunda, Grace di operasi, aku belum mengucap salam padanya, kumohon beri aku waktu sebentar untuk menunggunya”, aku memohon penuh harap dan memperlihatkan raut memelas.
Orang tuaku tak tega melihat aku sedih, dan mereka mengiyakan permintaanku.

Waktu terus berjalan, tak terasa tiga jam kami menunggu disana, akhirnya orang tuaku membawa aku pergi, aku tak dapat melawan, kami berlalu dari ruangan itu. Benakku terus terbayang akan Grace, semua hal yang telah kami lakukan diruangan itu hinggap dalam benakku.

©  

Sesampainya dirumah, aku mencoba melepas bebanku, dengan merebahkan tubuhku di tempat tidur. Tanpa sadar aku tertidur, dan aku mulai memasuki dunia baru. Diseberang sana, kulihat cahaya yang menyilaukan, aku penasaran akan cahaya itu, lantas kudekati cahaya itu, saat kudekati, aku melihat seseorang terbaring tak berdaya, ia seorang gadis, dan mengenakan pakaian putih yang begitu indah, semakin kudekati ia, dan kutaatap wajahnya. Kulihat matanya tertutup, ia sedang tidur, wajahnya memancarkan aura kedamain, tanganku tergugah untuk membelainya, jarinya yang panjang begitu cantik, namun saat ku perhatikan wajahnya, “Grace”, aku terkejut dan terbangun, semakinku bertanya-tanya, apakah benar gadis itu Grace?, akhirnya kuputuskan untuk mengukir sebuah pigura yang penuh dengan corak dan tengahnya terpapang fotoku bersama Grace.

Lantas keesokan harinya aku memutuskan untuk menghubungi rumah sakit untuk menanyakan  keadaan Grace. Ternyata pihak rumah sakit mengatakan bahwa Grace telah pulang, dan operasinya berjalan lancar, aku senang mendengarnya, dan aku bergegas menghubungi Grace. “tuut…tuut…tuut…, halo, selamat siang kediaman keluarga Edward disini, ada perlu apa ya…?” suara gadis kecil tersambung dari ujung sana.
“Hai Grace” aku menyapanya dari sini.
“mmm”, Grace sedang berfikir bahwa sepertinya ia pernah mendengar suara seseorang yang sedang berbicara padanya.
“Kau tak mengenaliku?, ini aku Hanna”.
“oh, Hanna. Apa kabar, kudengar kau telah kembali kerumah ya” Grace memulai pertanyaan
“iya, bagaimana dengan operasimu? Sukses?” aku berbalik bertanya.
“Iya, aku merasa baikan sekarang, maaf yah sebelumnya, aku tak memberitahukanmu bahwa aku di operasi” berjam-jam kami bergurau ditelepone.
©  

Minggu ketiga setelah Grace pulang dari rumah sakit, dan kudengar bahwa keadaannya memburuk, kali ini operasinya gagal. Ternyata Tuhan memanggilnya. Saat ku melihatnya tanpa nyawa, mutiara mata yang mengalir dipipiku, ku biarkan jatuh begitu saja.

Ibu Grace memberikan selarik surat padaku, katanya”Ini dari Grace, sebelum ia pergi, ia menulis surat ini dan berpesan untuk diberikan kepadamu, ia berterima kasih sebab kau telah bersedia menjadi peri manisnya selama ini”.
Kuambil surat itu dan mulai kubaca.

Yang tersayang Hanna,

Mungkin saat kau membaca surat ini, aku telah pergi jauh dari dunia ini, aku tak tahu harus mengucap apa padamu,aku berterima kasih padamu karena kau bersedia menjadi sahabat terbaikku selama ini, aku minta maaf karena pertemuan kita berakhir sampai disini, aku tahu, kau pasti sakit, kau pasti sedih, karena aku pun sedih, namun aku tak berdaya. Tataplah bangkit peri manisku, aku tak ingin melihatmu terpuruk, ingatlah jalanmu masih panjang dan aku akan selalu mengawasimu dari surga.


Salam manis

Grace





Kesedihanku semakin menjadi-jadi, namun aku tetap tegar karena ia berkata bahwa ia akan mengawasiku dari surga, hatiku damai mendengarnya.

©  

Dihari pemakamannya, kubawa pigura yang waktu itu kubuat dan kuletakan di atas pusaranya. Agar ia dapat melihatnya, dan merasakan betapa aku menyayanginya sembari berbisik”Grace, aku berjanji tak akan melepasmu dari hatiku, dan seperti yang kau harapkan, aku akan melepasmu dalam pikiranku karena aku akan melangkah lebih jauh lagi, terimakasih atas semuanya, aku menyayangimu Grace”. 

Goresan tinta: Miftahul Hayatun Nisa


Tidak ada komentar:

Posting Komentar