Mengawasi
dari surga
Disebuah ruangan
yang cukup luas, dan jendela yang cukup besar untuk dapat membiaskan cahaya
mentari ke dalam ruangan. Saat itu, kulihat dirinya, gadis kecil dengan rambut
lurus hitam yang terurai dibahu, ia mengenakan topi berwarna merah dikepala.
Wajahnya pucat pasi. Namun senyumnya yng manis bagai
bulan sabit dimalam yang cerah, menutupi raut wajah yang pucat itu.
bulan sabit dimalam yang cerah, menutupi raut wajah yang pucat itu.
Kulihat ia duduk
bersama seorang wanita yang cantik parasnya. Kurasa itu ibunya, ruangan yang
mula sunyi, sontak terpecah ketika seorang suster menyebut sebuah nama “Grece.”
Lantas gadis itu berdiri dan menyeret langkahnya menuju sebuah ruangan. Aku
tetap menunggu giliranku disini. Aku gerharap akan bertemu dengannya lagi.
©
Satu minggu
berlalu, aku ada jadwal cek up hari ini, saat sampai di rumah sakit, aku
melihatnya lagi. Teman baruku. Saat itu, kulihat ia sedang duduk. Kali ini
bukan duduk untuk menunggu giliran, namun duduk pada kursi yang beroda, dan
dapat berjalan. Ya, ia duduk tak berdaya, dan seseorang mendampinginya dari
belakang, ia di bawa ke sebuah ruangan, aku melihat pintu ruangan itu
tertuliskan angka ‘681’. Mataku terfokus pada angka-angka itu. Namun tak lama,
karena aku harus melanjutkan langkahku, ke ruangan yang lain. Ternyata kali ini
dokter mengatakan, bahwa aku harus di rawat di rumah sakit. Spontan bibirku terangkat,
membentuk bulan sabit, dan sebuah ide terlihat di atas kepalaku.
Hari ke dua, aku
berencana datang keruangan 681. pagi itu,
setelah aku di periksa, lantas ku tinggalkan kamarku dan melangkah penuh
harap ke ruangan 861. di sana
kulihat ia.
Ia sedang duduk
sendirian, duduk di balik jendela kamarnya, mungkin ia sedang menikmati
hangatnya mentari pagi, dan betapa indah sinarnya.
“Indah ya” aku
memecah suasana, lantas ia membalikkan badan dan menatapku penuh curiga.
“Siapa kau?
lancang sekali kau masuk ruanganku tanpa izin”. Perkataannya sungguh kejam.
Bukan itu yang mau ku dengar dari bibir tipisnya, namun aku berusaha tenang.
“maaf kalau aku
lancang, memang tak sepantasnya aku masuk ruanganmu tanpa meminta izin terlebih
dahulu. Tadi aku tak sengaja lewat sini, dan aku tertarik untuk masuk ruanganmu
ini, maaf yah, aku tak bermaksud. Mmm… aku dapat pergi jika kau mau” aku
berusaha membuat ia simpati.
“tidak, jangan,
kau jangan pergi. Aku senang bertemu denganmu, dan maaf ya soal ucapanku tadi,
rasanya aku terlalu kasar padamu, dan membuat pertemuan pertama kita menjadi
buruk. Aku hanya terkejut melihat orang asing masuk ruanganku, maaf ya?”.
“ iya, tak apa.
Memang itu pantas ku dapatkan. Oh ya, mengapa kau sendirian, kemana orang
tuamu?”
“ orang tuaku?,
mereka pulang” gumamnya.
“pulang? Jadi kau
sendirian di sini? Aku juga sendirian”
“lantas?” ia
bertanya-tanya.
“maksudku, kita
bisa berteman disini”.
“oh… tentu, aku
senang mendengarnya, akhirnya aku tak kesepian lagi” ia menyambutku dengan
penuh rasa, “jadi, kita berteman?”.
“tentu, mmm… kalau
boleh tahu, kau sakit apa?” aku menanyakan hal yang selama ini menyelimuti
pikiranku.
“aku sakit
leokimia”ketika itu ia tak lagi menatapku.
“leokimia?”
tandasku hampir tak percaya. aku tahu yang ia rasakan. Dan aku terkejut,
mengapa gadis sebaik ia harus menerima penderitaan ini.
“iya, lantas
bagaimana dengan kau?” ia berbalik bertanya.
“ aku hanya sakit
biasa”.
“oh iya, kita
belum berkenalan bukan?” ia mengganti pokok pembicaraan.
“namaku Hanna,
kau, Grace, iya kan?”
“dari mana kau
tahu?, perasaan aku belum menyebutnya” benaknya penuh dengan tanda Tanya.
“kau memang belum
menyebutkan namamu padaku, namun seorang suster yang menyebutnya”
“kapan” tanda Tanya
itu semakin bertambah, akhirnya kujelaskan semuanya.
Waktu terus
berjalan, kami pun semakin dekat. Dimana ada Grace disitu pasti ada aku. Aku
selalu datang ke ruangan Grace, dan memenuhi ruangan dengan benda-benda unik
koleksi kami, para penghuni rumah sakit lainnya pun mengenal kami, mereka
menyebut kami sebagai pelangi yang memberi warna disana, kebanyakan orang
memang bosan berada di rumah sakit, namun tidak bagi aku dan Grace. Rumah sakit
adalah tempat yang istimewa, dan mengasyikan, karena disinilah kami dapat
saling melengkapi, selalu bertatap muka tiap hari, namun mustahil aku dan Grace
tinggal selamanya disana, karena kami memiliki keluarga yang menunggu dirumah.
Dan mungkin hari ini adalah hari yang begitu buruk bagiku, karena dokter
mengatakan bahwa aku sudah sehat dan boleh untuk kembali kerumah. Aku sedih
mendengarnya, aku sedih bukan karena aku sehat, namun karena secepatnya aku
harus berpisah dengan Grace, dan waktu kami untuk bertemu semakin sulit.
Sebelum pergi, aku
harus mengucap salam perpisahan dengan Grace, aku tak yakin aku bisa
melakukannya. Namun aku harus lakukan itu, meskipun berat, tapi itu harus.
Akhirnya aku
bertekat melakukannya, kuseret langkah menuju ruangannya, setibanya disana, aku
tak temukan ia, hatiku bertanya-tanya, aku bertanya pada perawat yang kebetulan
kutemui.
“Permisi” gumamku.
“iya, ada apa?”
Tanya suster itu.
“apakah anda
melihat pasien diruangan ini?”tanyaku, sembari melirik keruangan grace.
“Oh… grace
maksudmu? Jawab sester,”dia di pindahkan keruang operasi pagi tadi, keadaannya
memburuk, dan harus segera di operasi”.
“Begitu ya, terima
kasih suster”.
“iya sama-sama”
tandasnya sembari berlalu dari pandanganku.
Aku terkejut
mendengar berita itu. Lantas kusandarkan tubuhku pada sebuah dinding dekat
pintu kamar Grace. Aku tetap memikirkannya, mengapa ia tak memberitahukannya
padaku tentang keadaannya. Dibenakku saat ini hanya ada Grace, aku tetap
bersandar disana seiring berjalannya waktu. Aku menunggunya, namun ia tak
kunjung datang, padahal orang tuaku sudah menjemputku, mereka menghampiriku dan
hendak membawaku pulang, namun aku memohon pada mereka,” ayah, bunda, Grace di
operasi, aku belum mengucap salam padanya, kumohon beri aku waktu sebentar
untuk menunggunya”, aku memohon penuh harap dan memperlihatkan raut memelas.
Orang tuaku tak
tega melihat aku sedih, dan mereka mengiyakan permintaanku.
Waktu terus
berjalan, tak terasa tiga jam kami menunggu disana, akhirnya orang tuaku
membawa aku pergi, aku tak dapat melawan, kami berlalu dari ruangan itu.
Benakku terus terbayang akan Grace, semua hal yang telah kami lakukan diruangan
itu hinggap dalam benakku.
©
Sesampainya
dirumah, aku mencoba melepas bebanku, dengan merebahkan tubuhku di tempat
tidur. Tanpa sadar aku tertidur, dan aku mulai memasuki dunia baru. Diseberang
sana, kulihat cahaya yang menyilaukan, aku penasaran akan cahaya itu, lantas
kudekati cahaya itu, saat kudekati, aku melihat seseorang terbaring tak
berdaya, ia seorang gadis, dan mengenakan pakaian putih yang begitu indah,
semakin kudekati ia, dan kutaatap wajahnya. Kulihat matanya tertutup, ia sedang
tidur, wajahnya memancarkan aura kedamain, tanganku tergugah untuk membelainya,
jarinya yang panjang begitu cantik, namun saat ku perhatikan wajahnya, “Grace”,
aku terkejut dan terbangun, semakinku bertanya-tanya, apakah benar gadis itu
Grace?, akhirnya kuputuskan untuk mengukir sebuah pigura yang penuh dengan
corak dan tengahnya terpapang fotoku bersama Grace.
Lantas keesokan
harinya aku memutuskan untuk menghubungi rumah sakit untuk menanyakan keadaan Grace. Ternyata pihak rumah sakit
mengatakan bahwa Grace telah pulang, dan operasinya berjalan lancar, aku senang
mendengarnya, dan aku bergegas menghubungi Grace. “tuut…tuut…tuut…, halo,
selamat siang kediaman keluarga Edward disini, ada perlu apa ya…?” suara gadis
kecil tersambung dari ujung sana.
“Hai Grace” aku
menyapanya dari sini.
“mmm”, Grace
sedang berfikir bahwa sepertinya ia pernah mendengar suara seseorang yang
sedang berbicara padanya.
“Kau tak
mengenaliku?, ini aku Hanna”.
“oh, Hanna. Apa
kabar, kudengar kau telah kembali kerumah ya” Grace memulai pertanyaan
“iya, bagaimana
dengan operasimu? Sukses?” aku berbalik bertanya.
“Iya, aku merasa
baikan sekarang, maaf yah sebelumnya, aku tak memberitahukanmu bahwa aku di
operasi” berjam-jam kami bergurau ditelepone.
©
Minggu ketiga
setelah Grace pulang dari rumah sakit, dan kudengar bahwa keadaannya memburuk,
kali ini operasinya gagal. Ternyata Tuhan memanggilnya. Saat ku melihatnya
tanpa nyawa, mutiara mata yang mengalir dipipiku, ku biarkan jatuh begitu saja.
Ibu Grace
memberikan selarik surat padaku, katanya”Ini
dari Grace, sebelum ia pergi, ia menulis surat
ini dan berpesan untuk diberikan kepadamu, ia berterima kasih sebab kau telah
bersedia menjadi peri manisnya selama ini”.
Kuambil surat itu dan mulai
kubaca.
Yang tersayang Hanna,
Mungkin saat kau
membaca surat ini, aku telah pergi jauh dari dunia ini, aku tak tahu harus
mengucap apa padamu,aku berterima kasih padamu karena kau bersedia menjadi
sahabat terbaikku selama ini, aku minta maaf karena pertemuan kita berakhir
sampai disini, aku tahu, kau pasti sakit, kau pasti sedih, karena aku pun
sedih, namun aku tak berdaya. Tataplah bangkit peri manisku, aku tak ingin
melihatmu terpuruk, ingatlah jalanmu masih panjang dan aku akan selalu mengawasimu
dari surga.
Salam manis
Grace
Kesedihanku
semakin menjadi-jadi, namun aku tetap tegar karena ia berkata bahwa ia akan
mengawasiku dari surga, hatiku damai mendengarnya.
©
Dihari
pemakamannya, kubawa pigura yang waktu itu kubuat dan kuletakan di atas
pusaranya. Agar ia dapat melihatnya, dan merasakan betapa aku menyayanginya
sembari berbisik”Grace, aku berjanji tak akan melepasmu dari hatiku, dan
seperti yang kau harapkan, aku akan melepasmu dalam pikiranku karena aku akan
melangkah lebih jauh lagi, terimakasih atas semuanya, aku menyayangimu Grace”.
Goresan tinta: Miftahul Hayatun Nisa
Goresan tinta: Miftahul Hayatun Nisa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar