Kamis, 24 November 2011

   
  MATA IBUKU

aku ingat pada salah satu periode dalam masa kanak-kanakku ketika aku takut sekali Ibuku akan meninngal, itu adalah hal paling buruk yang bisa kubayangkan. Sepanjang hari hanya rasa takut yang membanyangiku.
Rasanya Ibu sehat-sehat saja, namun aku tetap merasa khawatir. Ayahku adalah seorang politikus yang jarang berada di rumah, dan sulit di ajak bicara. Membayangkan hidup bersama Ayah terasa sangat menakutkan bagiku.
Pada saat usiaku tujuh atau delapan tahun, aku telah tumbuh menjadi gadis yang mandiri dan ketakutan itu pun mereda. Aku yakin bisa mengurus diriku sendiri dan bisa pindah ketempat lain yang jauh dari Ayah. Maka kehawatiranku pun menghilang.
Ketika umurku delapan belas tahun, dan saat itu umur Ibuku baru beusia empat puluh tahun  tumor yang mendiami otak ibu semakin ganas. Dan dokter mendiagnosis bahwa hidup  Ibuku  kurang dari tiga bulan lagi. Aku memang tidak pernah percaya dengan kata-kata Dokter, karena hidup manusia hanyaTuhan yang tahu. Namun batin ini selalu tertekan dengan keadaan Ibu. Saat itu Ayahku pontang-panting mencari para internis, dokter bedah, dan onkolog terbaik di dunia. Istrinya, kata Ayah harus mendapatkan perawatan medis yang
bisa dibeli dengan uang. Tetapi kesimpulan para dokter telah bulat, mereka tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Ada tes-tes eksperimental dan perlakuan-perlakuan kemoterapis baru, tetapi tidak seorang pun menganggapnya bisa membantu.dan hal ini memang tidak membantu. Yang dilakukan para dokter justru membuat Ibu lebih menderita.

Akhirnya dokter keluarga kami menganjurkan agar Ibu dipindahkan ke panti perawatan.namun Ibu tidak ingin berada dipanti perawatan. Ibu ingin berada di rumahnya sendiri.
Kami setuju dan akhirnya kami membawanya pulang. Suasananya menakutkan, sebab kami tidak tahu  apa yang  terjadi pada ibu dan bagamana hal itu akan mempengaruhi kami. Dan kami tidak memiliki alat-alat komunikasi untuk menanggapi ajal dan duka cita. Maka kami hanya mengandalkan intuisi kami dan harus percaya pada alam semesta. 

Selama pekan-pekan itu aku merasakan adanya suatu kedamaian dalam diriku, sesuatu yang tidak bisa kumengerti. Ketika aku mengambil jarak dari ketakutan-ketakutanku ajal ibu mulai terasa seperti proses yang alami.
Tubuh ibu berubah dan menyusut. Aku tidak tahu sebabnya tapi entah bagaimana aku merasa aman. Akhirnya ibu kehilangan kemampuan bicara. Seluruh rumah menjadi sunyi senyap. Kami berbicara dengan suara pelan suaranya nyaris seperti dalam perpustakaan.

Pada suatu sore aku melangkah masuk dan duduk di ujung tempat tidur Ibu. Ibuku adalah seorang wanita yang anggun dan sangat mempesona, ia tampak begitu damai.
Ibu terbaring diam dan menatapku. Aku balas tatapan ibu dan kugenggam tangannya. Ibu tidak mempunyai sisa energy lagi, tetapi aku membiarkannya menggenggam tanganku dengan begitu lembut dan penuh kasih sayang, aku menatap dalam-dalam ke mata coklatnya yang jernih. Aku memandang tanpa henti dan mata ibu terasa semakin mendalam dan semakin dalam. Mata kami terkunci selama dua puluh lima menit berikutnya kami tidak pernah mengalihkan pandanan satu sama lain. Kami hanya duduk bertatapan dan aku semakin dalam menyelami mata ibu.

Itu seperti berjalan melalui sebuah terowongan menuju pusat roh ibu. Dan tiba-tiba saja, jauh di dalam sosok itu terasa makhluk yang ku kenali sebagai ibuku. Semua cinta kasihnya, perhatiannya, keibuannya, dan hati nuraninya terasa bersinar lebih jernih daripada yang pernah kusaksikan. Semua penghalang di antara kami pun luruh dalam terang cahaya di dalam dirinya. Aku merasa sementara tubuh ibu melayu, rohnya mendapatkan kekuatan.
Ibu mengeratkan genggamannya lagi. Dan sementara ia melakukannya, dengan lembut ia menganggukan Kepala dua atau tiga kali. Saat itu pula, meskipun tidak sepata kata pun meluncur di antara kami aku tahu bahwa kami telah mengatakan apa pun yang perlu dikatakan. Semuanya baik-baik saja, ibu juga baik-baik saja. Kami saling mencintai dengan begitu mendalam. Kami sepenuhnya menghormati satu sama lain, kami bersyukur atas cinta kasih yang selama bertahun-tahun itu telah kami rasakan bersama. Ibu akan terus berjalan dan aku pun begitu. Dan tempat yang pernah kami lalui bersama-sama tidak akan lenyap bagi kami berdua. Karena entah bagaimana, saat itu, hari itu dan di kamar itu aku dan ibu sama-sama melihat secercah keabadian.
Aku merasakan tetes-tetes air mata, namun itu air mata kekaguman bukan kesedihan. Dan aku tahu bahwa aku bersedia melewati ketakutan dan kekhawatiran, melewati cacat-cacat fisik ibu dan memandang dalam-dalam ke dalam rohnya. Maka aku melihatnya dengan lebih jelas daripada yang sudah-sudah.
Beberapa hari kemudin beliau meninngal. Waktu itu adalah Jumat sore yang indah dan damai. Sinar matahari yang cerah menyinari seluruh rumah dengan warna keemasan yang cemerlang dan angin yang lembut serta hangat menyapu kami. Suasana damai yang mendalam memenuhi seisi rumah. Aku, Ayah dan ketiga adik perempuanku saling bergandengan tangan di seputar tempat tidur ibu dan memberikan ciuman selamat tinggal. Kemudian kami saling berangkulan dan barangkali baru pertama itulah seluruh keluarga berangkulan. Kepala kami menyatu dan semua menangis lirih.

Tak lama kemudian kami berjalan keluar rumah. Matahari hampir terbenam. Dan ketika aku memandangnya baru kusadari bahwa matahari itu paling cemerlang ketika hendak terbenam. Dan sekalipun matahari hilang dari pemandangan, ia tidak pernah mati.

Begitu pula perasaanku tentang ibu, seperti matahari itu. Meskipun ibu telah menghilang dari pemandangan tetapi aku tahu bahwa ibu akan selalu bersmaku bahkan dalam jam-jam yang paling gelap sekalipun. Aku memandangi keluargaku dan tercengang merasakan kedekatan di antara kami semua. Kami sadar telah menjadi satu,satu hati.
Ibuku dalam menerahkan nyawanya sendiri telah mempersatukan seluruh keluarga kami dalam suatu kedekatan dan ikatan yang telah kami miliki hingga hari ini.
Kematian ibu mengajarkan padaku bahwa kadang-kadang hal yang paling kita takut ternyata bisa menjadi sebuah karunia.


By: Mitahul Hayatun Nisa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar