MATA IBUKU
aku ingat pada salah satu periode dalam masa kanak-kanakku ketika aku takut sekali Ibuku akan meninngal, itu adalah hal paling buruk yang bisa kubayangkan. Sepanjang hari hanya rasa takut yang membanyangiku.
Rasanya Ibu sehat-sehat saja, namun aku tetap merasa khawatir. Ayahku adalah seorang politikus yang jarang berada di rumah, dan sulit di ajak bicara. Membayangkan hidup bersama Ayah terasa sangat menakutkan bagiku.
Pada saat usiaku tujuh atau delapan tahun, aku telah tumbuh menjadi gadis yang mandiri dan ketakutan itu pun mereda. Aku yakin bisa mengurus diriku sendiri dan bisa pindah ketempat lain yang jauh dari Ayah. Maka kehawatiranku pun menghilang.
Ketika umurku delapan belas tahun, dan saat itu umur Ibuku baru beusia empat puluh tahun tumor yang mendiami otak ibu semakin ganas. Dan dokter mendiagnosis bahwa hidup Ibuku kurang dari tiga bulan lagi. Aku memang tidak pernah percaya dengan kata-kata Dokter, karena hidup manusia hanyaTuhan yang tahu. Namun batin ini selalu tertekan dengan keadaan Ibu. Saat itu Ayahku pontang-panting mencari para internis, dokter bedah, dan onkolog terbaik di dunia. Istrinya, kata Ayah harus mendapatkan perawatan medis yang